Thaharah


1.1. Pengertian thaharah

Thaharah menurut bahasa berarti bersih. Menurut istilah fuqaha berarti membersihkan hadats atau menghilangkan najis, yaitu najis jasmani seperti darah, air kencing, dan tinja. Hadats secara maknawi berlaku bagi manusia. Mereka yang terkena hadats ini terlarang untuk melakukan shalat, dan untuk menyucikannya mereka wajib wudlu, mandi dan tayamum.(Fiqh Lima Madzhab Hal:3). Disamping itu bersuci merupakan syarat sah melakukan ibadah.

Urusan bersuci meliputi beberapa perkara diantaranya:

a. Alat bersuci seperti air, tanah dan sebagainya

b. Kaifiat bersuci

c. Macam dan jenis tempat yang perlu disucikan

d. Benda yang waib disucikan

e. Sebab-sebab atau keadaan yang menyebabkan wajib bersuci.(Fiqh Islam Hal:28)

Bersuci (tahaharah) ada dua bagian, yaitu:

A. Bersuci dari hadats, ini mencakup wudlu, mandi, dan pengganti dari dua tersebut yaitu tayamum.

B. Bersuci dari najis, bagian ini berlaku pada badan, pakaian, dan tempat.

Thaharah dari hadats dan najis pada pokoknya menggunakan air, sebagaimana firman Allah SWT:

“ ….dan Allah SWT menurunkan kepadamu hujan dari atas (langit) untuk menyucikan kamu dengan hujan itu…..(Q.S. Al-Anfal: 11)

“…dan Kami turunkan dari atas (langit)ar yang amat bersih…”(Q.S. Al-Furqan: 48)

Kata Thahur diatas memberi arti air yang suci dan menyucikan. (Fiqh Lima Madzhab Hal:3).

1.2. Pembagian air,

Para ulama membagi air dengan tiga bagian, yaitu:

1. Air yang suci dan menyucikan, yaitu air yang jatuh dari langit atau yang muncul/terbit dari bumi dan masih tetap (belum berubah)keadaannya baiak rasa, warna, dan baunya), seperti air hujan, air es yang mencair, air laut, air sumur, air embundan air yang keluar dari mata air. Perubahan air yang tidak menghilangkan sifatnya(suci-menyucikan), baik itu rasa, bau, dan warnanya, yaitu:

a. Berubah dengan sebab tempatnya, seperti tergenang atau mengalir dibatu belerang

b. Berubah karena lama terletak, seperti air kolam

c. Berubah dengan sebab tanah yang suci, begitu juga perubahan yang sukar memeliharanya seperti berubah karena daun-daunan yang jatuh dari pohon

d. Berubah karena sesuatu yang terjadi padanya, seperti berubah dengan sebab ikan.

2. Air suci, tetapi tidak menyucikan, yaitu

Air berubah sifatnya dengan sebab bercampur dengan benda suci selain dari perubahan yang telah disebutkan diatas, seperti kopi, teh, dan Air pohon-pohonan atau air buah-buahan, seperti air kelapa, air nira dan sebagainya, ini pandangan imam Malik dan Imam As-Syafi’I

Air yang kurang dari dua kulah (panjang 1 1/4 hasta, lebar 1 1/4 hasta, dan dalamnya 1 1/4 hasta bila bentuknya persegi empat, adapun bila bundar, maka garis menengahnya 1 hasta, dalam 2 1/4 hasta dan keliling 3 1/4 hasta), sudah terpakai (musta’mal) sedangkan air tersebut tidak berubah sifatnya. Apabila bersentuhan dengan najis maka air tersebut menjadi najis.

3. Air bernajis, yaitu ada dua macam:

a. Air yang berubah sifatnya sebab najis, baik sedikit atau banyak.

b. Air yang sedikit terkena najis, tetapi kalau airnya banyak, hukumnya suci dan menyucikan.

4. Air yang makruh dipakai. Yaitu air musammasy (yang terjemur matahari) dalma bejana selain bejana emas dan perak, air tersebut makruh untuk badan tidak untuk pakaian, terkecuali air yang terjemur ditempat bukan bejana, seperti air kolam, air sawah, dan sebagainya. Sebagaimana sabda Rasul saw:

“Dari Aisyah r.a, sesungguhnya ia telah memansakan air pada cahaya matahari, maka berkata Rasul saw, kepadanya: “Janganlah engkau berbuat demikian, ya Aisyah, sesungguhnya air yang dijemur itu dapat menimbulkan penyakit sopak.” (Riwayat baihaqi).

1.3. Benda-benda yang najis

Ashal pokok suatu benda adalah suci selama tidak ada dalil yang menunjukan bahwa benda tersebut najis. Benda najis itu banyak, diantaranya:

1. Anjing dan babi.

Sebagaimana sabda Nabi SAW “Cara mencuci bejana seorang dari kamu, apabila dijilat anjing hendaklah dibasuh tujuh kali, salah satunya hendaklah dicampur dengan tanah.” (Riwayat Muslim)

Madzhab Syafi’I dan Hambali melihat secara dlahirnya hadits, dan melihat cara pengambilan dalil dengan mengunakan hadits tersebut, didalam hadits dinyatakan bahwa kita disuruh mencuci bejana yang dijilati anjing. Mencuci sesuatu disebabkan tiga perkara, a. karena hadats, b. karena najis, dan c. karena kehormatannya. Sedangkan menurut Madzhab Maliki : bejana yang dibasuh tujuh kali serta satu kali di campur dengan tanah jika terkena jilatan anjing bukanlah karena najis melainkan karena ta’abud. Sebagian Ulama berpendapat bahwa Anjing itu suci dengan beralasan firman Allah swt, “Dihalalkan bagi kamu memakan binatang yang ditangkap anjing.” (Al-Maidah :4). Didalam ayat tersebut kita diperbolehkan memakan binatang yang ditangkap dengan anjing dan tidak disuruh mencuci lebih dulu, sedangkan binatang tersebut sudah barang tentu bergelimang dengan air liur anjing yang menangkapnya.

Pendapat pertama menjawab ayat tersebut tidak dapat menjadi dalil atas sucinya anjing, karena membolehkan memakan binatang hasil tangkapan anjing itu tidaklah berarti tidak wajib mencucinya, hanya tidak diterang dalam ayat karena dalil mencuci najis itu sudah cukup diterangkan pada tempat yang lain.

2. Bangkai binatang darat yang berdarah selain mayat manusia. Hal ini berdasarkan firman Allah swt. Al-Maidah ayat 3 “Diharamkan atas kamu bangkai” (Al-Maidah :3). Dan surat Al-Isra:70;Demi sesungguhnya Kami memuliakan anak Adam”

Adapun bangkai ikan, binatang yang tidak berdarah, begitu pula mayat manusia, tidak termasuk dalam ayat ini, karena menurut madzhab Syafi’a juz bangkai seperti dagimg, kulit, tulang urat, bulu dan gemuknya semuanya najis. Menurut pandangan madzhab Hanzfi, yang najis hanya bagian-bagian yang ber mengandung nyawa seperti daging dan kulit, adapun bagian-bagian yang bernyawa seperti kuku, tulang tanduk dan bulu, semuanya itu suci.

Madzab As-Syafi’I mengambil dalil dari keumauman makna bangkai dalam ayat tersebut, karena bangkai merupakan benda yang tersusun dari susku-suku atau bagian-bagian tersebut, sedangkan madzhab kedua beralasan dengan menggunakan hadits Maimuunah:

“Sesungguhnya yang haram ialah memakannya.pada riwayat lain, yang haram ialah “dagingnya”. (riwayat jama’ah ahli hadits)

3. Darah. Keempat Madzhab sepakat bahwa darah itu najis, berdasarkan firman Allah : “Diharamkan atas kamu memakan bangkai, darah dan daging babi.” (Al-Maidah :3). Kecuali darah orang yang mati syahid, selama darah itu berada diatas jasadnya, begitu juga darah yang tertinggal pada persembelihan, darah ikan, darah kutu, darah tersebut dimaafkan.

4. Nanah, karena nanah merupakan darah yang membusuk

5. Segala benda yang keluar dari du pintu, semuanya najis kecuali mani (madzhab As-Syafi’i), adapun menurut pandangan Maliki dan Hanafi bahwa mani anak adam dan lainnya adalah najis.

Sabda Rasyulullah saw.: “Sesungguhnya rasulullah saw. Diberi dua biji batu dan sebuah tahi yang keras untuk istinja’, beliau mengambil dua batu saja, sedangkan tahi, belai kembalikan dan berkata: “tahi ini najis”. (Riwayat Bukhari).

6. Tiap-tiap minuman keras yang memabukan, firman Allah swt.: Sesungguhnya Arak, judi, berhala dan bertenung itu najis, keji itu pekerjaan setan.” (Al-Maidah: 90)

1.4. Kaifiat menghilangkan najis pada benda yang terkena najis.

Untuk mencuci benda yang kena najis ini tergantung dari najis tersebut, karena najis digolongkan menjadi tiga bagian :

a. Najis mughaladzah, yaitu najis anjing dan babi cara mencucinya hendaklah dibasuh tujuh kali, satu kali hendaklah dicampur dengan tanah..

b. Najis Mukhaffafah, seperti kencing anak laki-laki sebelum usia 2 tahun yang belum makan makanan selain ASI. Cara memberesihkannya yaitu dengan memercikan air ke atas benda tersebut meskipun tidak mengalir. Adapun kencing anak permpuan cara memberesihkannya yaitu membasuh sampai air mengalir diatas benda yang kena najis sebagaimana mencuci kencing orang dewasa.

Sabda Rasulullah SAW: “Kencing anak permpuan dibasuh dan kencing anak laiki-laki diperciki.” (Riwayat Turmudzi)

c. Najis mutawasithah, yaitu najis selain kedua tersebut diatas. Ada dua bagian, yaitu:

1. Najis hukmiyah, yaitu yakin adanya tetapi tidak nyata zat, bau, rasa dan warnanya, seperti kencing yang sudah lama kering.

2. Najis ‘Ainiyah, yaitu masih ada zat, waran, rasa, atau baunya, warna dan baunya sukar dihilangkan.

ditulis oleh : chev elhakiem

Makalah "Modernisme dalam Pandangan Islam"

PENDAHULUAN
BISMILLAHIRRAHMANIRROHIIM
Al-hamdulillah makalah yang berjudul “Modernisme Dalam Pandangan Islam” merupakan salah satu tugas mata kuliah Filsafat, dapat tersaji, walaupun dalam pengerjaannya mendapatkan hambatan dikarenakan keterbatasan ilmu yang saya miliki.
A. PERUMUSAN MASALAH
Dalam menapaki problematika modern yang terjadi di permukaan bumi, hal ini memberi imbas kepada tatanan umat islam, mau tidak mau umat islam sendiri harus membuka mata terhadap gejala yang terjadi, baik itu bersifat politik, social, budaya dan lain-lain.
Melihat realita kehidupan muslim pada era modernisasi sangat memprihatinkan karena atribut-atribut umat islam berserakan seperti sampah, nilai-nilai luhur ajaran islam semakin luntur terbawa arus modernisasi. Oleh karena itu sangat penting untuk mengkaji latar belakang sejarah serta bagaimana pandangan islam terhadap modernisasi.
Pengalaman sejarah membuktikan bahwasannya umat Islam tidak hanya mengalir bagai air, tetapi berjuang dalam mempertahankan nilai-nilai keislaman yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Hadits, kemenangan dan kesuksesan itu akan terus dijamin oleh Allah selama mereka berpegang teguh kepada ajaran agama. Jika umat Islam mengalami kekalahan atau kemunduran, mereka segera ingat kepada firman suci bahwa “masa-masa kejayaan dipergilirkan di antara manusia” (tilka l-ayyaamu nudawiluhaa baina n-naas). Ketika roda sejarah sedang berputar ke bawah, di kalangan umat Islam selalu bermunculan tokoh-tokoh yang mengumandangkan seruan “kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi”. Pada masa kelumpuhan peradaban Islam akibat serangan dahsyat bangsa Mongol, terukirlah nama Taqiyuddin Ibn Taimiyyah (1263–1328) yang menyerukan reformasi ajaran agama secara komprehensif. Ibn Taimiyyah menghimbau seluruh ulama untuk mengintegrasikan aspek-aspek teologi (kalam), hukum (fiqh), rasionalitas (falsafah) dan sufisme (tasawuf) menjadi suatu kebulatan ajaran yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Bangsa-bangsa Eropa Barat sebelum abad ke-16 tidaklah pernah memiliki peradaban yang dapat dibanggakan dalam sejarah. Malahan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang-orang Eropa Barat pada abad-abad pertengahan mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat pada universitas-universitas Muslim di Spanyol dan Sisilia. Berkat perkenalan dan pembelajaran dari peradaban Islam, Eropa Barat terstimulasi untuk bangkit dari suasana kebodohan yang mereka sebut Dark Age (Zaman Kegelapan), menuju masa renaissance (kelahiran kembali) yang bermula pada abad ke-16. Kebangkitan Eropa Barat diawali dengan proses sekularisasi atau penerapan faham sekularisme, yaitu pemisahan agama Nasrani dari pengaturan kehidupan. Dengan demikian masyarakat terbebas dari kungkungan dogma-dogma gereja dan terbukalah pengembangan ilmu pengetahuan melalui penalaran akal. Maka pada abad ke-18 yang dikenal sebagai Masa Pencerahan (Enlightenment), Eropa Barat melahirkan peradaban modern.
B. RUANG LINGKUP PEMBAHASAN
Secara periode waktu, studi ini dibatasi pada perkembangan modernisme Islam mulai dari pengertian modern serta perkembangan modern dalam dunia Islam. Alasan pembatasan tersebut didasarkan pada modernisasi dalam arti yang benar, yaitu yang didasari rasionalisasi dan teknikalisasi, tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam bahkan justru diperintahkan oleh Al-Qur’an.
C. TUJUAN
· Memperkaya wawasan keilmuan.
· Mengetahui perkembangan sejarah modernisasai islam serta tahu bagaimana cara mengisi pada abad modernisasi ini yang penuh dengan kamuflase.
· Mempertinggi ghirah jihad dalam mempertahankan ajaran-ajaran islam.

BAB I
ISI PEMBAHSAN
1.1. Pengertian Modern
Istilah “modern” ini sangat perlu kita fahami. Berasal dari kata Latin modernus yang artinya “baru saja; just now”, pengertian modern mengacu bukan hanya kepada “zaman” (kita mengenal pembagian zaman menjadi zaman purba, zaman pertengahan dan zaman modern), tetapi yang lebih penting mengacu kepada “cara berfikir dan bertindak”. Peradaban modern ditandai oleh dua ciri utama, yaitu rasionalisasi (cara berfikir yang rasional) dan teknikalisasi (cara bertindak yang teknikal). Tumbuhnya sains dan teknologi modern diikuti oleh berbagai inovasi di segenap bidang kehidupan. Ada yang mengartikan modern diambil dari bahasa arab mudlirrun, bentuk isim fail artinya yang memadlaratkan, dengan artian walaupun cara pandang dan berfikir mengalami kemajuan tetapi dapat menghilangkan jati diri seorang muslim, karena disana pendewaan terhadap akal sangat dominan.
Di bidang politik muncul faham nasionalisme, sistem partai dan parlemen, serta pembagian kekuasaan dalam pemerintahan. Di bidang ekonomi lahir berbagai industri, sistem pertukaran barang, serta korporasi bisnis. Di bidang sosial budaya timbul institusi dan cara hidup yang lebih efisien, mulai dari sistem administrasi dan pendidikan sampai kepada pemeliharaan kesehatan dan cara berpakaian. Semua ini ditunjang oleh proses pertukaran ide yang efektif melalui buku cetak dan media massa serta sarana komunikasi dan transportasi yang canggih sebagai buah lezat dari ilmu pengetahuan.
Dengan segala keunggulan peradaban modern, terutama di bidang persenjataan militer, bangsa-bangsa Eropa Barat melakukan ekspansi ke seluruh penjuru bumi, termasuk Dunia Islam. Setelah selama satu alaf (millennium) umat Islam berada di peringkat atas dalam peradaban dunia dan tidak tergoyahkan oleh peradaban manapun, tiba-tiba pada abad ke-19 arus sejarah berubah arah. Daerah-daerah Muslim, dari Maroko sampai Merauke, satu demi satu jatuh ke dalam cengkeraman imperialisme dan kolonialisme Eropa. Indonesia dikuasai Belanda, India dan Malaysia dijajah Inggris, Asia Tengah jatuh ke tangan Rusia, Austria merebut Bosnia-Herzegovina, Italia mencaplok Libia dan Ethiopia, sedangkan sebagian besar Afrika dan Timur Tengah terbagi-bagi ke dalam kekuasaan Inggris dan Perancis. Pada akhir Perang Dunia I tahun 1918, daerah-daerah Muslim yang masih merdeka hanyalah Afghanistan, Iran, Turki, dan Arabia. Untunglah bangsa-bangsa Eropa tidak tertarik kepada daerah Hijaz yang gersang, sehingga terhindarlah kota-kota suci Makkah dan Madinah dari sentuhan hegemoni Eropa.
Dominasi bangsa-bangsa Eropa Barat mengakibatkan tersebarnya peradaban modern di seluruh dunia. Ketika berkenalan dengan peradaban modern, umat Islam sudah terbelenggu dengan pemahaman agama yang merupakan konsensus dan pembakuan para ulama abad pertengahan, sehingga banyak aspek modernitas yang dianggap “haram” dan ditolak mentah-mentah. Sikap ini sangat berbeda dengan sikap kreatif para ulama pada abad-abad permulaan Islam, ketika penafsiran tentang Al-Qur’an dan Sunnah Nabi belum disekat oleh rambu-rambu mazhab. Berdasarkan perintah kitab suci agar para hamba Allah “gemar menginventarisasi ide-ide, lalu mengikuti yang terbaik” (yastami`uuna l-qaula fa yattabi`uuna ahsanah), umat Islam pada masa-masa awal dengan sikap tanpa keraguan dan penuh percaya diri (sebab hegemoni politik di tangan mereka) mengambil dan menyerap nilai-nilai yang dipandang baik dari peradaban-peradaban purba di sekitar Mesopotamia dan Mediterrania, lalu menciptakan Peradaban Islam (Islamic Civilization) selama berabad-abad yang penuh dengan inovasi intelektual, eksperimen ilmiah, monumen yang artistik, dan karya literer yang bermutu tinggi. Sikap broad-minded yang diperintahkan Al-Qur’an itu tidak lagi dimiliki kaum Muslimin tatkala berhadapan dengan peradaban modern.
Maka pada akhir abad ke-19 bermunculan tokoh-tokoh pembaharu (mujaddid) yang menyeru umat Islam agar mengambil peradaban modern yang menunjang kemajuan, sebab modernisasi dalam arti yang benar, yaitu yang didasari rasionalisasi dan teknikalisasi, tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam bahkan justru diperintahkan oleh Al-Qur’an! Oleh karena para mujaddid ini bersikap positif terhadap modernitas, mereka oleh para ahli sejarah dijuluki kelompok modernis dan gerakan mereka disebut gerakan Modernisme Islam.
1.2. Awal Modernisme Islam
Gerakan modernisme Islam pada abad ke-19 dipelopori oleh Sayyid Jamaluddin al-Afghani (1839–1897). Meskipun lahir di Afghanistan, usianya dihabiskan di berbagai bagian Dunia Islam: India, Mesir, Iran, dan Turki. Dia mengembara ke Eropa, dari Saint Petersburg sampai Paris dan London. Di mana pun dia tinggal dan ke mana pun dia pergi, Jamaluddin senantiasa mengumandangkan ide-ide pembaharuan dan modernisasi Islam.
Bersama muridnya, Syaikh Muhammad Abduh (1849–1905) dari Mesir, Jamaluddin pergi ke Paris untuk menerbitkan majalah Al-`Urwah al-Wutsqa (Le Lien Indissoluble), yang berarti “ikatan yang teguh”. Abduh menjadi pemimpin redaksi, dan Jamaluddin menjadi redaktur politik. Nomor perdana terbit 13 Maret 1884 (15 Jumad al-Ula 1301), memuat artikel-artikel dalam bahasa Arab, Perancis, dan Inggris. Terbit setiap Kamis, majalah itu penuh dengan artikel-artikel ilmiah dan mengobarkan semangat umat untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, serta menyerukan perjuangan umat Islam agar terlepas dari belenggu penjajahan Eropa. Majalah Al-`Urwah al-Wutsqa tersebar di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, India, dan kota-kota besar di Eropa. Sayangnya, majalah ini hanya sempat beredar 28 nomor saja dan terpaksa berhenti terbit pada bulan Oktober 1884. Hal ini disebabkan pemerintah kolonial Inggris melarang majalah itu masuk ke Mesir dan India, lalu pemerintah Turki Usmani (yang kuatir akan gagasan jumhuriyah atau republik yang diusulkan Jamaluddin) juga melarangnya beredar di wilayah kekuasaannya, sehingga Al-`Urwah al-Wutsqa kehilangan daerah pemasarannya. Namun dalam masa delapan bulan beredar, majalah Muslim pertama di dunia itu berhasil menanamkan benih-benih modernisasi di kalangan umat Islam.
Gagasan pembaharuan Jamaluddin dan Abduh menjadi lebih tersebar luas di seluruh Dunia Islam, tatkala seorang murid Abduh yang bernama Muhammad Rasyid Ridha (1865–1935) menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir. Nomor pertamanya terbit 17 Maret 1898 (22 Syawwal 1315), dan beredar sampai tahun 1936. Majalah Al-Manar inilah yang secara kongkrit menjabarkan ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, serta berpengaruh langsung kepada gerakan modernisme Islam di Asia Tenggara pada awal abad ke-20.
1.3. Masyarakat Arab
Semangat modernisasi Islam mengalir pula ke Pulau Jawa. Masyarakat Arab di Jakarta mendirikan organisasi Jam`iyat al-Khair tahun 1901, akan tetapi baru memperoleh izin resmi dari pemerintah Hindia Belanda tanggal 17 Juli 1905. Organisasi ini membangun sekolah-sekolah modern di beberapa kota, dan keanggotaannya terbuka bagi orang-orang Muslim pribumi. Jam`iyat al-Khair aktif mendatangkan guru-guru dari Timur Tengah, antara lain Syaikh Ahmad Surkati (1872–1943) dari Sudan. Ahmad Surkati yang merupakan penganut faham Muhammad Abduh ini tiba di Jakarta pada bulan Maret 1911.
Setelah aktif di Jam`iyat al-Khair, Ahmad Surkati menyadari bahwa organisasi ini terlalu didominasi oleh kaum sayyid yang berpikiran sempit. Maka pada tanggal 6 September 1914 (15 Syawwal 1332) Ahmad Surkati mendirikan organisasi Jam`iyah al-Ishlah wal-Irsyad. Organisasi yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Irsyad ini segera berkembang dan memiliki cabang-cabang di Cirebon, Tegal, Pekalongan, Surakarta, Surabaya, dan beberapa kota lainnya di Jawa.
1.4. Muhammadiyah
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa organisasi pembaharuan dan modernisasi Islam yang terbesar adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan (1868–1923). Semasa kecil bernama Muhammad Darwis, Ahmad Dahlan menjabat khatib mesjid kesultanan Yogyakarta dengan julukan “Ketib Amin”. Sejak remaja Ahmad Dahlan sudah membaca majalah Al-`Urwah al-Wutsqa yang diselundupkan ke Jawa. Pada tahun 1890 Ahmad Dahlan menjadi murid Syaikh Ahmad Khatib di Makkah, dan tahun 1903 dia sengaja ke Makkah lagi untuk bermukim selama dua tahun. Ahmad Dahlan makin akrab dengan gagasan modernisasi Islam, bahkan sempat berkenalan dengan Muhammad Rasyid Ridha. Setelah pulang ke Yogyakarta, Ahmad Dahlan membina hubungan yang baik dengan para tokoh pembaharu di Minangkabau, terutama dengan Abdulkarim Amrullah yang terkenal dengan sebutan “Haji Rasul”. Anak Haji Rasul, Abdul Malik, dan menantu Haji Rasul, Ahmad Rasyid, kelak menjadi tokoh-tokoh Muhammadiyah, masing-masing populer dengan nama Hamka dan A.R.Sutan Mansur.
Pada dasawarsa pertama abad ke-20 di Jawa berdiri tiga organisasi. Selain Jam`iyat al-Khair yang dipelopori masyarakat Arab, tumbuh pula dua organisasi pribumi, yaitu Budi Utomo tahun 1908, serta Sarekat Islam tahun 1911. Ahmad Dahlan menjadi anggota yang aktif dari ketiga organisasi tersebut. Akan tetapi dia merasa perlu mendirikan suatu organisasi yang benar-benar berorientasi kepada gerakan modernisme Islam. Ahmad Dahlan menilai Budi Utomo tidak memperjuangkan Islam, sedangkan Sarekat Islam dilihatnya menjurus ke bidang politik. Dalam suatu pertemuan antara Ahmad Dahlan dan Ahmad Surkati, kedua tokoh ini sepakat untuk berbagi tugas dengan masing-masing mendirikan organisasi: Ahmad Surkati menghimpun masyarakat Arab dan Ahmad Dahlan menghimpun masyarakat pribumi.
Maka pada hari Senin Legi tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330), Kyai Haji Ahmad Dahlan mendirikan organisasi yang diberi nama Muhammadiyah, yang berarti “penegak ajaran Nabi Muhammad”. Organisasi ini berlambang matahari yang dihiasi dua kalimat syahadat, persis seperti hiasan gambar matahari di pintu Ka`bah! Dengan lambang matahari, diharapkan Muhammadiyah menjadi sumber energi yang senantiasa bersinar untuk menerangi umat Islam di Indonesia. Menurut Ahmad Dahlan, organisasi Muhammadiyah merupakan realisasi firman Allah “hendaklah ada dari kalanganmu suatu kelompok” (waltakun minkum ummah) yang berfungsi ganda, yaitu “mengajak kepada kebaikan” (yad`uuna ila l-khair) sebagai fungsi eksternal, serta “memerintahkan yang ma`ruf dan mencegah yang mungkar” (ya’muruuna bi l-ma`ruuf wa yanhauna `ani l-munkar) sebagai fungsi internal. Itulah sebabnya Ahmad Dahlan merumuskan dua butir tujuan Muhammadiyah: (1) memadjoekan dan menggembirakan peladjaran dan pengadjaran agama Islam; serta (2) memadjoekan dan menggembirakan hidoep sepandjang kemaoean agama Islam dalam kalangan sekoetoe-sekoetoenja.
Sejak kelahirannya Muhammadiyah telah menetapkan garis perjuangan (khittah) untuk bergerak di bidang da`wah, sosial, dan pendidikan. Dengan semboyan “sedikit bicara banyak bekerja” serta “siapa menanam dia mengetam”, Ahmad Dahlan bertujuan memurnikan ajaran Islam dari apa yang disebutnya T.B.C. (tachajoel, bid`ah, choerafat). Muhammadiyah mempelopori penentuan arah kiblat secara eksak; penggunaan metode hisab untuk menentukan awal dan akhir puasa Ramadhan; shalat hari raya di lapangan; pengumpulan dan pembagian zakat fitrah dan daging kurban kepada fakir miskin; pemberian khutbah dalam bahasa yang difahami jemaah; pelaksanaan shalat Jum`at dan tarawih yang sesuai dengan cara Nabi; penghilangan bedug dari mesjid; penyederhanaan upacara kelahiran, khitanan, perkawinan, dan pengurusan jenazah; serta masih banyak lagi usaha-usaha Muhammadiyah yang mengembalikan umat Islam kepada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Di bidang sosial dan pendidikan Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah, panti asuhan, dan poliklinik. Agar kaum wanita terangkat derajatnya, Ahmad Dahlan dan istrinya, Siti Walidah (Nyi Haji Ahmad Dahlan), mendirikan perkumpulan Sopotresno tahun 1914, yang diubah namanya menjadi Aisyiyah pada tahun 1917. Kemudian berdiri pula kepanduan Hizbul Wathan tahun 1918, di samping perkumpulan Siswapraja Wanita dan Siswapraja Pria sebagai wadah anak-anak muda, yang kemudian masing-masing menjadi Nasyi’atul-Aisyiyah tahun 1931 dan Pemuda Muhammadiyah tahun 1932.
Sampai tahun 1920 organisasi Muhammadiyah dimatangkan di Yogyakarta dan sekitarnya. Sesudah itu Muhammadiyah mulai menyebar dan mendirikan cabang-cabang di beberapa kota: Surakarta (1920), Surabaya dan Madiun (1921), serta Pekalongan, Garut dan Jakarta (1922). Setelah Kyai Haji Ahmad Dahlan wafat tahun 1923, kepemimpinan Muhammadiyah dipegang oleh sahabatnya, Kyai Haji Ibrahim, yang memimpin organisasi sampai tahun 1932. Pada periode K.H.Ibrahim ini Muhammadiyah menyebar ke luar Jawa: Sumatera (1925), Kalimantan (1927), dan Sulawesi (1929).
Demikianlah akhirnya Muhammadiyah tersebar di seluruh Nusantara, sehingga dalam Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang bulan Juni 1933 dengan bangga Pimpinan Pusat (Hoofdbestuur) melaporkan bahwa “Moehammadijah-lah persjarikatan jang pertama-tama banjak tjabang dan groepnja, tersiar moelai dari Sabang sampai Merauke dan dari Teloekbetoeng sampai Manado dan Ternate”.
Muhammadiyah merupakan gerakan modernisme Islam yang mempunyai dampak paling luas di Indonesia. Pada mulanya organisasi ini mendapat tantangan dan hambatan, terutama dari kaum adat dan ulama tradisional. Muncul tuduhan bahwa Muhammadiyah menyimpang dari garis “ahlus-sunnah wal-jama`ah”. Akan tetapi lambat laun masyarakat menyadari bahwa modernisasi memang suatu keharusan. Kegiatan Muhammadiyah yang dahulu dicela kini ditiru diam-diam. Sekolah-sekolah modern yang dahulu menjadi tuduhan kepada Muhammadiyah “meniru Belanda” terpaksa didirikan orang juga. Kepanduan yang dahulu dianggap “tasyabbuh” (menyerupai orang kafir) di mana-mana telah tumbuh. Golongan-golongan yang dahulu menghambat langkah Muhammadiyah akhirnya tidak mendapat jalan lain kecuali meniru jejak Muhammadiyah.
Sejak mulai berdiri Muhammadiyah bukanlah organisasi politik. “Tidak mencampuri politik”, itulah politiknya! Ia semata-mata gerakan da`wah. Akan tetapi tidaklah dapat dinafikan pengaruh Muhammadiyah dalam perjuangan bangsa. Sebagai satu-satunya organisasi di zaman kolonial yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke, maka kongres-kongres Muhammadiyah yang berlangsung setiap tahun sangat berperan dalam membina persatuan nasional. Apalagi bahasa Melayu selalu digunakan dalam kongres-kongres tersebut, meskipun bahasa Melayu saat itu belum dikukuhkan sebagai Bahasa Indonesia. Perjuangan di bidang politik banyak diisi oleh orang-orang Muhammadiyah, meskipun Muhammadiyah sebagai organisasi tidak berpolitik praktis. Cukuplah di sini disebutkan bahwa ketika Republik Indonesia lahir tahun 1945 jabatan-jabatan strategis di negara ini dipegang oleh “orang Muhammadiyah”, yaitu Presiden Sukarno, Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman, Jaksa Agung Kasman Singodimedjo, serta Menteri Agama Muhammad Rasyidi. Beberapa tokoh Muhammadiyah ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, yaitu Kyai Haji Ahmad Dahlan, Nyi Haji Siti Walidah Ahmad Dahlan, Kyai Haji Fachruddin, dan Kyai Haji Mas Mansur.
1.5. Persatuan Islam
Pembicaraan mengenai gerakan modernisme Islam tidaklah lengkap apabila kita mengabaikan sebuah organisasi pembaharuan yang bersifat “cabe rawit”: kecil tetapi pedas! Itulah organisasi Persatuan Islam (Persis) yang didirikan di Bandung tanggal 17 September 1923 (5 Safar 1342) oleh ulama asal Palembang, Kyai Haji Zamzam (1894–1952), yang juga pernah bertahun-tahun menuntut ilmu keagamaan di Makkah. Seperti Muhammadiyah dan Al-Irsyad, Persatuan Islam juga menyatakan sebagai penerus gerakan pembaharuan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Kelahiran organisasi ini dilandasi firman Allah “berpegang-teguhlah kepada tali Allah bersama-sama dan janganlah bercerai-berai” (wa`tashimuu bi hablil-laahi jamii`an wa laa tafarraquu) serta sabda Nabi “tangan Allah bersama orang-orang yang mengelompok” (yadu l-laahi ma`a l-jama`ah).
Tokoh Persatuan Islam yang terkenal adalah Ahmad Hassan (1887–1958). Lahir dan besar di Singapura, Ahmad Hassan sejak remaja sudah mengenal gagasan pembaharuan yang disebarkan majalah Al-Imam. Dia banyak menulis artikel mengenai keharusan umat Islam kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pada tahun 1921 Ahmad Hassan pindah ke Surabaya, daerah asal ibunya. Di sini dia menjadi akrab dengan Ahmad Surkati. Kemudian pada tahun 1925 Ahmad Hassan pindah ke Bandung, menjadi anggota Persatuan Islam tahun 1926, dan segera menjadi tokoh yang mewarnai corak dan gaya organisasi itu, yaitu keras, konsisten, dan tidak mengenal kompromi.
Ahmad Hassan berpendapat bahwa pintu ijtihad harus dibuka dengan cara shock therapy, sehingga umat Islam terbangun dari tidur lelap. Jika Muhammadiyah mengutamakan aksi-aksi sosial melalui sekolah, rumah sakit dan panti asuhan, maka Persatuan Islam mengutamakan da`wah lisan dan tulisan, seperti memperbanyak tabligh, menerbitkan buku dan majalah, menyelenggarakan debat publik, dan berpolemik di media massa. Buku-buku dan majalah yang diterbitkan Persatuan Islam menjadi bahan rujukan bagi kaum modernis di Indonesia, terutama majalah Pembela Islam dan Al-Lisan. Demikian pula seri buku Soe’al Djawab karya Ahmad Hassan tersebar di seluruh Indonesia dan Malaysia.
Pada tahun 1940 Ahmad Hassan pindah ke Bangil sampai ia wafat tahun 1958, meskipun pusat Persatuan Islam tetap di Bandung. Ahmad Hassan banyak meninggalkan karya berupa buku-buku yang sampai kini terus dicetak ulang, misalnya Tafsir Al-Furqan, Pengajaran Shalat dan terjemahan Bulughul-Maram. Murid-murid Ahmad Hassan tersebar di mana-mana. Salah seorang muridnya yang cemerlang adalah Mohammad Natsir (1908–1993), siswa AMS di Bandung yang menjadi aktivis Persatuan Islam, dan kelak menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia serta tokoh yang terkenal di Dunia Islam. Bahkan Bung Karno pun mengaku sebagai murid Ahmad Hassan, sebagaimana tertulis pada “Surat-surat Islam dari Ende” dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi.
1.6. Kaum Tradisionalis
Munculnya gerakan modernisme menyebabkan para pengamat keislaman membagi umat Islam Indonesia menjadi dua kelompok, yaitu kaum modernis dan kaum tradisionalis. Yang disebut terakhir ini pada garis besarnya mempunyai tiga ajaran utama. Pertama, menganut mazhab Muhammad ibn Idris asy-Syafi`i (767-820) dalam masalah hukum agama, dengan tidak mengesampingkan mazhab Abu Hanifah (700–767), mazhab Malik ibn Anas (711–795), dan mazhab Ahmad ibn Hanbal (780–855). Kedua, menganut skolastisisme Abu Hasan al-Asy`ari (873–935) dan Abu Mansur al-Maturidi (896–944) dalam masalah ketuhanan. Ketiga, menganut ajaran Abul-Qasim al-Junaidi (828–910) dan Abu Hamid al-Ghazali (1058–1111) dalam masalah tasawuf. Kaum modernis pada umumnya tidak merasa terikat pada ajaran pertama dan ketiga, sedangkan faham Asy`ariyyah diterima dalam bentuk seperlunya saja.
Kaum tradisionalis di Indonesia juga terstimulasi untuk membentuk organisasi. Pada tahun 1917 K.H. Abdul Halim di Majalengka mendirikan Persyarikatan Ulama (sejak 1952 bernama Persatuan Umat Islam atau PUI). Lalu pada 31 Januari 1926 (17 Rajab 1344) di Surabaya lahir Nahdlatul-`Ulama (NU) yang didirikan K.H. Hasyim Asy`ari (1871–1947). Kemudian menyusul dua organisasi di Sumatera, yaitu Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Minangkabau pada tanggal 5 Mei 1928 (15 Dzulqa`dah 1346), serta Jam`iyyah al-Washliyyah di Medan pada tanggal 30 November 1930 (9 Rajab 1349). Semua organisasi kaum tradisionalis ini mempertahankan mazhab Syafi`i.
1.7. Harapan Kaum Muslimin
Yang perlu diwaspadai bagi umat islam ialah perang budaya atau ghazwul fikr yaitu sebuah penjajahan yang ingin mengubah dan menghilangkan identitas kaum muslimin dan arah pikirannya, atau dalam arti memindahkan pada sekularisme.
Sesungguhnya model penjajahan ini sangat berbahaya dari perang militer. Sebab perang militer hanya menduduki sebuah wilayah, sedangkan perang budaya dan pemikiran menjajah akal dan jiwa.
Musuh dan penjajah yang licik mencoba memalingkan kaum muslimin dari agamanya dengan cara membiarkan umat islam terlena dan lalai dengan memformat pemimpin masa depan untuk kepentingan mereka. Dengan menanamkan budaya dan pemikiran mereka yang lezat yang sekaligus ditanamkam rasa taat dan patuh kepada tradisi mereka serta pengkudusan kepada manhaj dan falsafahnya. Bukan dengan cara perang fisik, karena mereka tahu, jika dilaksanakan akan menimbulkan perlawan keras dari masyarakat islam .
Walaupun demikian, sesungguhnya tabiat Islam, dengan Kitab Al-Qur’annya yang terjaga, sunnah Nabinya yang memberi penjelasan, sejarah Nabinya yang dinamis, petunjuk sahabat-sahabatnya yang terdidik, dan dengan kepahlawanan para ulama salaf dan akhlak mereka yang memberi petunjuk, tidak mungkin akar-akarnya akan tumbang. Islam tenggelam pada satu kaum, namun dia akan muncul pada kaum yang lain.
Maka sesungguhnya tak mengherankan jika Allah swt. selalu menyiapkan bagi muslimin, orang-orang yang selalu siap untuk melakukan perlawanan pada orang-orang yang membawa perang budaya dan pemikiran. Allah swt. Berfirman :
“Diantara orang-orang mukmin, ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepad Allah swt. Maka diantara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka (pula) yang menunggu-nunggu, dan tidak seeikit pun mereka mengubah (janjinya).” (Al-Ahzab:23)

BAB II PENUTUP
Kemajuan sains dan teknologi mengantarkan umat manusia memasuki abad ke-21 dengan segala persoalan yang multikompleks, seperti pencemaran lingkungan, menipisnya sumber daya alam, ledakan jumlah penduduk, kesenjangan sosial, serta pembauran kultural akibat canggihnya informasi dan komunikasi. Semua ini memiliki dampak terhadap pemahaman agama oleh umat manusia, termasuk umat Islam. Tidaklah dapat dihindari kemungkinan untuk melakukan reinterpretasi (penafsiran ulang) terhadap pemahaman ajaran agama.
Gerakan-gerakan modernisme Islam oleh beberapa pengamat dinilai telah kehilangan semangat pembaharuannya, karena terlalu sibuk mengelola amal usaha dan kegiatan rutin lainnya, sehingga kurang tanggap terhadap masalah-masalah baru yang dihadapi umat Islam. Terlepas dari benar atau tidaknya anggapan tersebut, Muhammadiyah, Persatuan Islam, Al-Irsyad, dan gerakan sejenisnya yang terlanjur dijuluki “kaum pembaharu” hendaknya lebih meningkatkan ijtihad dalam merespons tantangan abad ke-21 yang makin rumit dan tidak terduga arahnya.
Disamping itu kita harus waspada terhadap apa yang dilakukan oleh musuh-musuh kita yang licik penuh dengan intrik yaitu Nashrani dan Yahudi, karena mereka tidak akan bertekuk lutut pada Islam, sampai umat islam patuh pada mereka.
Hanya kepada Allah s.w.t. kami memohon agar kita diberi kekuatan, istiqamah dalam mengarungi kehidupan ini.
Al-hamdulillahi rabbil ‘alamiin….

Ditulis oleh :
Chev el hakiem
(Mangkubumi Tasikmalaya)











DAFTAR PUSTAKA

1. Drs Ahmad Amir Aziz, MAg, Neo-Modernisme Islam Di Indonesia, 1999, Rineka Cipta, Jakarta.
2. Drs. H. Irfan anshory, Modernisme Islam di Indonesia , Artikel Pada Majalah "Suara Muhammadiyah" No.8, 16-30 April 2002:
3. Jhon L. Esposito, Islam Aktual, Judul Asli:What Every One Needs to Know About Islam, 2005, Insiasi Pers, Depok.
4. Yusuf Al-Qardawi, Dr, Islam Abad 21, Judul Asli: Ummatuna baina Qarnaini, 2000, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur.

Ma'na Idhul Adha

Bulan ini merupakan bulan bersejarah bagi umat Islam. Pasalnya, di bulan ini kaum muslimin dari berbagai belahan dunia melaksanakan rukun Islam yang kelima. Ibadah haji adalah ritual ibadah yang mengajarkan persamaan di antara sesama. Dengannya, Islam tampak sebagai agama yang tidak mengenal status sosial. Kaya, miskin, pejabat, rakyat, kulit hitam ataupun kulit putih semua memakai pakaian yang sama. Bersama-sama melakukan aktivitas yang sama pula yakni manasik haji.

Selain ibadah haji, pada bulan ini umat Islam merayakan hari raya Idul Adha. Lantunan takbir diiringi tabuhan bedug menggema menambah semaraknya hari raya. Suara takbir bersahut-sahutan mengajak kita untuk sejenak melakukan refleksi bahwa tidak ada yang agung, tidak ada yang layak untuk disembah kecuali Allah, Tuhan semesta alam.

Pada hari itu, kaum muslimin selain dianjurkan melakukan shalat sunnah dua rekaat, juga dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban bagi yang mampu. Anjuran berkurban ini bermula dari kisah penyembelihan Nabi Ibrahim kepada putra terkasihnya yakni Nabi Ismail.

Peristiwa ini memberikan kesan yang mendalam bagi kita. Betapa tidak. Nabi Ibrahim yang telah menunggu kehadiran buah hati selama bertahun-tahun ternyata diuji Tuhan untuk menyembelih putranya sendiri. Nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara melaksanakan perintah Tuhan atau mempertahankan buah hati dengan konsekuensi tidak mengindahkan perintahNya. Sebuah pilihan yang cukup dilematis. Namun karena didasari ketakwaan yang kuat, perintah Tuhanpun dilaksanakan. Dan pada akhirnya, Nabi Ismail tidak jadi disembelih dengan digantikan seekor domba. Legenda mengharukan ini diabadikan dalam al Quran surat al Shaffat ayat 102-109.

Kisah tersebut merupakan potret puncak kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Nabi Ibrahim mencintai Allah melebihi segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri. Kecintaan Nabi Ibrahim terhadap putra kesayangannya tidak menghalangi ketaatan kepada Tuhan. Model ketakwaan Nabi Ibrahim ini patut untuk kita teladani.

Dari berbagai media, kita bisa melihat betapa budaya korupsi masih merajalela. Demi menumpuk kekayaan rela menanggalkan ”baju” ketakwaan. Ambisi untuk meraih jabatan telah memaksa untuk rela menjebol ”benteng-benteng” agama. Dewasa ini, tata kehidupan telah banyak yang menyimpang dari nilai-nilai ketuhanan. Dengan semangat Idul Adha, mari kita teladani sosok Nabi Ibrahim. Berusaha memaksimalkan rasa patuh dan taat terhadap ajaran agama.

Di samping itu, ada pelajaran berharga lain yang bisa dipetik dari kisah tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa perintah menyembelih Nabi Ismail ini pada akhirnya digantikan seekor domba. Pesan tersirat dari adegan ini adalah ajaran Islam yang begitu menghargai betapa pentingnya nyawa manusia.

Hal ini senada dengan apa yang digaungkan Imam Syatibi dalam magnum opusnya al Muwafaqot. Menurut Syatibi, satu diantara nilai universal Islam (maqoshid al syari’ah) adalah agama menjaga hak hidup (hifdzu al nafs). Begitu pula dalam ranah fikih, agama mensyari’atkan qishosh, larangan pembunuhan dll. Hal ini mempertegas bahwa Islam benar-benar melindungi hak hidup manusia. (hlm.220 )

Nabi Ismail rela mengorbankan dirinya tak lain hanyalah demi mentaati perintahNya. Berbeda dengan para teroris dan pelaku bom bunuh diri. Apakah pengorbanan yang mereka lakukan benar-benar memenuhi perintah Tuhan demi kejayaan Islam atau justru sebaliknya?.

Para teroris dan pelaku bom bunuh diri jelas tidak sesuai dengan nilai universal Islam. Islam menjaga hak untuk hidup, sementara mereka—dengan aksi bom bunuh diri— justru mencelakakan dirinya sendiri. Di samping itu, mereka juga membunuh rakyat sipil tak bersalah, banyak korban tak berdosa berjatuhan. Lebih parah lagi, mereka bukan membuat Islam berwibawa di mata dunia, melainkan menjadikan Islam sebagai agama yang menakutkan, agama pedang dan sarang kekerasan. Akibat aksi nekat mereka ini justru menjadikan Islam laksana ”raksasa” kanibal yang haus darah manusia.

Imam Ghazali dalam Ihya ’Ulumuddin pernah menjelaskan tentang tata cara melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Menurutnya, tindakan dalam bentuk aksi pengrusakan, penghancuran tempat kemaksiatan adalah wewenang negara atau badan yang mendapatkan legalitas negara. Tindakan yang dilakukan Islam garis keras dalam hal ini jelas tidak prosedural. (vol.2 hlm.311)

Sudah semestinya dalam melakukan amar makruf nahi munkar tidak sampai menimbulkan kemunkaran yang lebih besar. Bukankah tindakan para teroris dan pelaku bom bunuh diri ini justru merugikan terhadap Islam itu sendiri ?. Merusak citra Islam yang semestinya mengajarkan kedamaian dan rahmatan lil ’alamin. Ajaran Islam yang bersifat humanis, memahami pluralitas dan menghargai kemajemukan semakin tak bermakna.

Semoga dengan peristiwa eksekusi mati Amrozi cs, mati pula radikalisme Islam, terkubur pula Islam yang berwajah seram. Pengorbanan Nabi Ismail yang begitu tulus menjalankan perintahNya jelas berbeda dengan pengorbanan para teroris.

Di hari Idul Adha, bagi umat Islam yang mampu dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban. Pada dasarnya, penyembelihan binatang kurban ini mengandung dua nilai yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Kesalehan ritual berarti dengan berkurban, kita telah melaksanakan perintah Tuhan yang bersifat transedental. Kurban dikatakan sebagai kesalehan sosial karena selain sebagai ritual keagamaan, kurban juga mempunyai dimensi kemanusiaan.

Bentuk solidaritas kemanusiaan ini termanifestasikan secara jelas dalam pembagian daging kurban. Perintah berkurban bagi yang mampu ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang respek terhadap fakir-miskin dan kaum dhu’afa lainnya. Dengan disyari’atkannya kurban, kaum muslimin dilatih untuk mempertebal rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan terhadap masalah-masalah sosial, mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap sesama.

Meski waktu pelaksanaan penyembelihan kurban dibatasi (10-13 Dzulhijjah), namun jangan dipahami bahwa Islam membatasi solidaritas kemanusiaan. Kita harus mampu menangkap makna esensial dari pesan yang disampaikan teks, bukan memahami teks secara literal. Oleh karenanya, semangat untuk terus ’berkurban’ senantiasa kita langgengkan pasca Idul Adha.

Saat ini kerap kita jumpai, banyak kaum muslimin yang hanya berlomba meningkatkan kualitas kesalehan ritual tanpa diimbangi dengan kesalehan sosial. Banyak umat Islam yang hanya rajin shalat, puasa bahkan mampu ibadah haji berkali-kali, namun tidak peduli dengan masyarakat sekitarnya. Sebuah fenomena yang menyedihkan. Mari kita jadikan Idul Adha sebagai momentum untuk meningkatkan dua kesalehan sekaligus yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Selamat berhari raya !


Ditulis oleh Yusuf Fatawie*