Thaharah


1.1. Pengertian thaharah

Thaharah menurut bahasa berarti bersih. Menurut istilah fuqaha berarti membersihkan hadats atau menghilangkan najis, yaitu najis jasmani seperti darah, air kencing, dan tinja. Hadats secara maknawi berlaku bagi manusia. Mereka yang terkena hadats ini terlarang untuk melakukan shalat, dan untuk menyucikannya mereka wajib wudlu, mandi dan tayamum.(Fiqh Lima Madzhab Hal:3). Disamping itu bersuci merupakan syarat sah melakukan ibadah.

Urusan bersuci meliputi beberapa perkara diantaranya:

a. Alat bersuci seperti air, tanah dan sebagainya

b. Kaifiat bersuci

c. Macam dan jenis tempat yang perlu disucikan

d. Benda yang waib disucikan

e. Sebab-sebab atau keadaan yang menyebabkan wajib bersuci.(Fiqh Islam Hal:28)

Bersuci (tahaharah) ada dua bagian, yaitu:

A. Bersuci dari hadats, ini mencakup wudlu, mandi, dan pengganti dari dua tersebut yaitu tayamum.

B. Bersuci dari najis, bagian ini berlaku pada badan, pakaian, dan tempat.

Thaharah dari hadats dan najis pada pokoknya menggunakan air, sebagaimana firman Allah SWT:

“ ….dan Allah SWT menurunkan kepadamu hujan dari atas (langit) untuk menyucikan kamu dengan hujan itu…..(Q.S. Al-Anfal: 11)

“…dan Kami turunkan dari atas (langit)ar yang amat bersih…”(Q.S. Al-Furqan: 48)

Kata Thahur diatas memberi arti air yang suci dan menyucikan. (Fiqh Lima Madzhab Hal:3).

1.2. Pembagian air,

Para ulama membagi air dengan tiga bagian, yaitu:

1. Air yang suci dan menyucikan, yaitu air yang jatuh dari langit atau yang muncul/terbit dari bumi dan masih tetap (belum berubah)keadaannya baiak rasa, warna, dan baunya), seperti air hujan, air es yang mencair, air laut, air sumur, air embundan air yang keluar dari mata air. Perubahan air yang tidak menghilangkan sifatnya(suci-menyucikan), baik itu rasa, bau, dan warnanya, yaitu:

a. Berubah dengan sebab tempatnya, seperti tergenang atau mengalir dibatu belerang

b. Berubah karena lama terletak, seperti air kolam

c. Berubah dengan sebab tanah yang suci, begitu juga perubahan yang sukar memeliharanya seperti berubah karena daun-daunan yang jatuh dari pohon

d. Berubah karena sesuatu yang terjadi padanya, seperti berubah dengan sebab ikan.

2. Air suci, tetapi tidak menyucikan, yaitu

Air berubah sifatnya dengan sebab bercampur dengan benda suci selain dari perubahan yang telah disebutkan diatas, seperti kopi, teh, dan Air pohon-pohonan atau air buah-buahan, seperti air kelapa, air nira dan sebagainya, ini pandangan imam Malik dan Imam As-Syafi’I

Air yang kurang dari dua kulah (panjang 1 1/4 hasta, lebar 1 1/4 hasta, dan dalamnya 1 1/4 hasta bila bentuknya persegi empat, adapun bila bundar, maka garis menengahnya 1 hasta, dalam 2 1/4 hasta dan keliling 3 1/4 hasta), sudah terpakai (musta’mal) sedangkan air tersebut tidak berubah sifatnya. Apabila bersentuhan dengan najis maka air tersebut menjadi najis.

3. Air bernajis, yaitu ada dua macam:

a. Air yang berubah sifatnya sebab najis, baik sedikit atau banyak.

b. Air yang sedikit terkena najis, tetapi kalau airnya banyak, hukumnya suci dan menyucikan.

4. Air yang makruh dipakai. Yaitu air musammasy (yang terjemur matahari) dalma bejana selain bejana emas dan perak, air tersebut makruh untuk badan tidak untuk pakaian, terkecuali air yang terjemur ditempat bukan bejana, seperti air kolam, air sawah, dan sebagainya. Sebagaimana sabda Rasul saw:

“Dari Aisyah r.a, sesungguhnya ia telah memansakan air pada cahaya matahari, maka berkata Rasul saw, kepadanya: “Janganlah engkau berbuat demikian, ya Aisyah, sesungguhnya air yang dijemur itu dapat menimbulkan penyakit sopak.” (Riwayat baihaqi).

1.3. Benda-benda yang najis

Ashal pokok suatu benda adalah suci selama tidak ada dalil yang menunjukan bahwa benda tersebut najis. Benda najis itu banyak, diantaranya:

1. Anjing dan babi.

Sebagaimana sabda Nabi SAW “Cara mencuci bejana seorang dari kamu, apabila dijilat anjing hendaklah dibasuh tujuh kali, salah satunya hendaklah dicampur dengan tanah.” (Riwayat Muslim)

Madzhab Syafi’I dan Hambali melihat secara dlahirnya hadits, dan melihat cara pengambilan dalil dengan mengunakan hadits tersebut, didalam hadits dinyatakan bahwa kita disuruh mencuci bejana yang dijilati anjing. Mencuci sesuatu disebabkan tiga perkara, a. karena hadats, b. karena najis, dan c. karena kehormatannya. Sedangkan menurut Madzhab Maliki : bejana yang dibasuh tujuh kali serta satu kali di campur dengan tanah jika terkena jilatan anjing bukanlah karena najis melainkan karena ta’abud. Sebagian Ulama berpendapat bahwa Anjing itu suci dengan beralasan firman Allah swt, “Dihalalkan bagi kamu memakan binatang yang ditangkap anjing.” (Al-Maidah :4). Didalam ayat tersebut kita diperbolehkan memakan binatang yang ditangkap dengan anjing dan tidak disuruh mencuci lebih dulu, sedangkan binatang tersebut sudah barang tentu bergelimang dengan air liur anjing yang menangkapnya.

Pendapat pertama menjawab ayat tersebut tidak dapat menjadi dalil atas sucinya anjing, karena membolehkan memakan binatang hasil tangkapan anjing itu tidaklah berarti tidak wajib mencucinya, hanya tidak diterang dalam ayat karena dalil mencuci najis itu sudah cukup diterangkan pada tempat yang lain.

2. Bangkai binatang darat yang berdarah selain mayat manusia. Hal ini berdasarkan firman Allah swt. Al-Maidah ayat 3 “Diharamkan atas kamu bangkai” (Al-Maidah :3). Dan surat Al-Isra:70;Demi sesungguhnya Kami memuliakan anak Adam”

Adapun bangkai ikan, binatang yang tidak berdarah, begitu pula mayat manusia, tidak termasuk dalam ayat ini, karena menurut madzhab Syafi’a juz bangkai seperti dagimg, kulit, tulang urat, bulu dan gemuknya semuanya najis. Menurut pandangan madzhab Hanzfi, yang najis hanya bagian-bagian yang ber mengandung nyawa seperti daging dan kulit, adapun bagian-bagian yang bernyawa seperti kuku, tulang tanduk dan bulu, semuanya itu suci.

Madzab As-Syafi’I mengambil dalil dari keumauman makna bangkai dalam ayat tersebut, karena bangkai merupakan benda yang tersusun dari susku-suku atau bagian-bagian tersebut, sedangkan madzhab kedua beralasan dengan menggunakan hadits Maimuunah:

“Sesungguhnya yang haram ialah memakannya.pada riwayat lain, yang haram ialah “dagingnya”. (riwayat jama’ah ahli hadits)

3. Darah. Keempat Madzhab sepakat bahwa darah itu najis, berdasarkan firman Allah : “Diharamkan atas kamu memakan bangkai, darah dan daging babi.” (Al-Maidah :3). Kecuali darah orang yang mati syahid, selama darah itu berada diatas jasadnya, begitu juga darah yang tertinggal pada persembelihan, darah ikan, darah kutu, darah tersebut dimaafkan.

4. Nanah, karena nanah merupakan darah yang membusuk

5. Segala benda yang keluar dari du pintu, semuanya najis kecuali mani (madzhab As-Syafi’i), adapun menurut pandangan Maliki dan Hanafi bahwa mani anak adam dan lainnya adalah najis.

Sabda Rasyulullah saw.: “Sesungguhnya rasulullah saw. Diberi dua biji batu dan sebuah tahi yang keras untuk istinja’, beliau mengambil dua batu saja, sedangkan tahi, belai kembalikan dan berkata: “tahi ini najis”. (Riwayat Bukhari).

6. Tiap-tiap minuman keras yang memabukan, firman Allah swt.: Sesungguhnya Arak, judi, berhala dan bertenung itu najis, keji itu pekerjaan setan.” (Al-Maidah: 90)

1.4. Kaifiat menghilangkan najis pada benda yang terkena najis.

Untuk mencuci benda yang kena najis ini tergantung dari najis tersebut, karena najis digolongkan menjadi tiga bagian :

a. Najis mughaladzah, yaitu najis anjing dan babi cara mencucinya hendaklah dibasuh tujuh kali, satu kali hendaklah dicampur dengan tanah..

b. Najis Mukhaffafah, seperti kencing anak laki-laki sebelum usia 2 tahun yang belum makan makanan selain ASI. Cara memberesihkannya yaitu dengan memercikan air ke atas benda tersebut meskipun tidak mengalir. Adapun kencing anak permpuan cara memberesihkannya yaitu membasuh sampai air mengalir diatas benda yang kena najis sebagaimana mencuci kencing orang dewasa.

Sabda Rasulullah SAW: “Kencing anak permpuan dibasuh dan kencing anak laiki-laki diperciki.” (Riwayat Turmudzi)

c. Najis mutawasithah, yaitu najis selain kedua tersebut diatas. Ada dua bagian, yaitu:

1. Najis hukmiyah, yaitu yakin adanya tetapi tidak nyata zat, bau, rasa dan warnanya, seperti kencing yang sudah lama kering.

2. Najis ‘Ainiyah, yaitu masih ada zat, waran, rasa, atau baunya, warna dan baunya sukar dihilangkan.

ditulis oleh : chev elhakiem

0 komentar:

Posting Komentar